top of page

Pendidikan yang Memanusiakan Manusia



Kesempurnaan manusia yang dianugerahkan Sang Pencipta melalui dimensi kemanusiaan membuat manusia mampu memilih bahkan menciptakan pilihan, dan bertindak sesuai pilihannya. Pendidikan berperan dalam pilihan-pilihan manusia, yaitu kehancuran atau pengembangan kemanusiaan, yang merusak atau membangun, yang mematikan atau memberi kehidupan, yang mencipta atau menghancurkan.


Pendidikan pun bukan hanya mempunyai tujuan untuk masa depan saja, karena jika ini terjadi makan akan semakin menjauhkan manusia dari rasa kemanusiaannya, tetapi pendidikan juga harus dapat menjadikan manusia bisa hidup untuk melaksanakan tugas kemanusiaannya, yaitu mampu menemukan kesempurnaannya sebagai manusia.


Jika pendidikan hanya berorientasi pada persiapan masa depan dan bukan pada kemanusiaan manusia maka pendidikan dapat menjauhkan manusia dari kemanusiaannya. Karena tak seorang pun dapat mengetahui dengan jelas dan pasti akan masa depan. Ketidaktahuan ini dapat menyeret manusia pada kekuatiran terus menerus tak berujung hingga ia sendiri kehilangan arah bahkan kehilangan kemanusiaannya.



Apa yang keliru dengan pendidikan yang berorientasi pada persiapan masa depan? Masa depan, yang sebenarnya tak ada seorang pun mampu menggambarkannya dengan pasti, hanya mampu menduga berdasarkan pengalaman yang telah dilaluinya itu penuh. Ketidakpastian yang disebabkan karena kekuatan akan perubahan ini meningkatkan kompleksitas persoalan dan menyusutnya jenis dan lapangan pekerjaan. Sehingga pendidikan yang hanya berorientasi pada masa depan akan mendidik manusia pada perburuan yang sangat ketat. Hal ini membuat lembaga pendidikan yang hanya berorientasi pada masa depan terjebak hanya melihat hasil dan melupakan proses.


Lembaga pendidikan yang berorientasi hanya pada masa depan juga dapat terjebak dalam dalam bayang-bayang sebuah pertandingan yaitu “to be a number one”. Demi memenangkan buruan, ia akan melakukan apa pun termasuk menghalalkan segala cara, seperti berbuat culas dan memakan manusia lain yang menjadi pesaingnya.


Persaingan manusia satu dengan manusia lain menjadi sangat kental dalam pendidikan yang hanya berorientasi pada masa depan. Terjebak pada hasil sebagai nomor satu tanpa memikirkan proses. Pendidikan seperti ini nampak kuat dan tangguh namun pada kenyataannya kosong karena tak diperkenankan untuk menjadi lemah dan lembut. Rasa empati terkikis dengan ego kemanusiaanya untuk menjadi pemenang. Jiwa yang rapuh, mudah putus asa dan frustasi karena perbandingan-perbandingan yang terjadi membuatnya merasa kecil tak berarti. Keadaan seperti ini, di mana dimensi kemanusiaan tak berkembang proporsional, membuat manusia bergerak menjauh dari kesempurnaan kemanusiaannya.


Peran pendidikan harus dikembalikan pada hakikatnya, yaitu bukan untuk mempersiapkan masa depan saja tetapi untuk membuat manusia dapat hidup dan melakukan tugas kemanusiaannya, yaitu; menemukan, mengembangkan dan menunjukkan kesempurnaannya sebagai manusia.

  • Menemukan, karena kesempurnaan adalah anugerah Sang Pencipta yang telah dimiliki tiap manusia, namun dapat terkubur dalam proses tumbuh kembangnya sebagai manusia.

  • Mengembangkan, karena sebagai manusia, yang bertumbuh dan berkembang tak mencapai perkembangan yang optimal dan proporsional apabila tak diusahakan.

  • Menunjukkan, karena manusia perlu eksis sebagai manusia di antara sesamanya manusia. Dan eksistensinya dalam bentuk manusia yang sempurna dapat mendorong manusia lain juga untuk menemukan, mengembangkan, dan menunjukkan kemanusiaanya.

Ketiga hal ini menjadi tugas manusia dalam kehadirannya sebagai manusia di muka bumi ini dan pendidikan menolong manusia menjalankan tugas kemanusiaannya.


Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang berorientasi pada kemanusiaan manusia. Kemanusiaan manusia tercapai melalui pengembangan dimensi kemanusiaan secara seimbang. Pemahaman mengenai kemanusiaan manusia ini menjadi dasar bagi penyusunan model pembelajaran yang berorientasi pada kemanusiaan manusia. Model pembelajaran dibangun dalam ruang-ruang yang memfasilitasi pembelajar untuk mengembangkan dimensi kemanusiaan, yaitu tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan.


Melalui kesempurnaan yang dianugerahkan Sang Pencipta, yaitu dimensi kemanusiaan, perkembangan manusia menjadi sangat unik dan berbeda dari makhluk lainnya. Perkembangan manusia meliputi perkembangan tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaannya. Perkembangan manusia, selain dipengaruhi oleh potensi tumbuh kembang yang dibawanya sejak lahir juga oleh perlakuan lingkungan terhadapnya.



Perwujudan tertinggi ini dapat menjadi arah bagi pengembangan dimensi kemanusiaan.


Pertama, perkembangan pikiran. Pendidikan yang memberi ruang bagi pengembangan pikiran, adalah pendidikan yang menciptakan visi dalam diri setiap anak didik.


Kedua, perkembangan tubuh. Perwujudan dalam pengembangan tubuh adalah disiplin. Disiplin ini muncul saat visi bertemu dengan komitmen, suatu kekuatan kehendak yang diwujudkan dalam tindakan. Di dalam disiplin selalu ada pengorbanan. Tanpa disiplin mustahil visi dapat terwujud. Disiplin menentukan realitas dan menerimanya.


Ketiga, perkembangan perasaan. Perwujudan dalam pengembangan perasaan adalah gairah. Gairah adalah api mempertahankan disiplin dan terus berjuang menggapai visi. Gairah ini muncul saat kebutuhan bertemu dengan keunikan bakat kita. Dengan demikian penting sekali untuk mengetahui bakat kita. Seseorang yang mengerjakan keahliannya yang bukan bakatnya perlu di motivasi terus menerus dari luar, berbeda dengan orang yang melakukan keahliannya yang memang bakatnya, maka api itu sudah ada di dalam dirinya tak perlu dicari lagi.


Keempat, perkembangan jiwa. Perwujudan dalam pengembangan jiwa adalah nurani. Orang sering menyebutnya dengan suara hati, yang adalah kesadaran moral yang universal, terlepas dari agama, budaya, geografis, nasionalitas, dan ras tertentu, mengenai apa yang baik dan buruk dan dorongan untuk memberi makna serta memberi sumbangan nyata. Nurani kebalikannya dari ego. Nurani adalah suara lembut dan pelan dalam batin kita sedangkan ego, bersifat tiran, kejam, senang memaksakan kehendak, memfokuskan pada diri sendiri dan kesenangan diri sendiri.



Ego mengklasifikasikan, melihat hubungan dengan kaca mata ancaman dan bukan. Sedangkan nurani, mengantarkan pada pemahaman yang lebih luas dan inklusi. Nurani memandang kehidupan dalam kecamata pelayanan dan pemberian, fokusnya adalah keamanan dan kepenuhan orang lain. Ego bekerja saat menghadapi kritis, tetapi tidak memiliki pertimbangan mendalam sedangkan nurani dipenuhi pertimbangan sehingga memiliki khazanah jawaban yang banyak. Ego merasa terancam dengan kritikan, sebaliknya nurani mampu belajar dari sebuah kesalahan dan kritikan. Nurani rela berkorban, mengalahkan diri sendiri, menundukkan ego demi tujuan atau prinsip yang lebih tinggi/mulai. Nurani tidak memisahkan visi dan cara mencapainya.


*Disarikan dari Jurnal Humaniora oleh Esther C - Pendidikan yang Memanusiakan

bottom of page