top of page

Mengapa Alquran tak Banyak Bicara tentang Khumus?


Alquran menyebutkan secara berulang dan rinci hal-hal yang berkaitan dengan masalah Tauhid, hari Kiamat, dan Kenabian (Nubuwwah). Namun berkenaan dengan penjelasan ayat-ayat hukum, secara umum yang dikenal, hanya terdapat lima ratus ayat dalam Alquran.


Di dalam Alquran, ayat-ayat terkait hukum/fikih sangatlah minim dan terbatas. Penjelasannya yang secara global mengenai kewajiban-kewajiban seperti bersuci (taharah), salat, puasa, haji dan lain sebagainya. Adapun penjelasan rincinya diserahkan kepada Rasulullah Saw dan para khalifahnya (para imam).


Begitu pula hukum amalan-amalan wajib seperti puasa atau haji disebutkan dalam jumlah yang sedikit dari ayat-ayat Alquran, sedemikian sehingga Alquran tidak menyebutkan lebih dari itu berkenaan dengan hukum-hukumnya. Khumus juga demikian adanya.


Alquran dalam menjelaskan signifikansi khumus dengan menyebutkan dan menggandengkan redaksi beriman kepada Allah setelah redaksi khumus, Ketahuilah, sesungguhnya setiap harta rampasan perang yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlima (khums) harta itu untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah…” [QS. al-Anfal: 41]


Apabila ayat-ayat berulang (dari ayat-ayat ahkam tersebut) atau yang saling berkaitan satu dengan yang lain kita kurangi, maka jumlah lima ratus tersebut juga akan berkurang [Kanz al-‘Irfan, hal. 29]. Sementara hukum-hukum dan masalah-masalah fikih yang mengemuka masing-masing pada cabang agama sangatlah luas. Atas dasar tersebut, para fakih seluruh mazhab Islam, memanfaatkan riwayat-riwayat muktabar dari Rasulullah Saw terkait dengan hukum-hukum dan instruksi-instruksi lainnya yang tidak disebutkan dalam Alquran.


Karena itu, dengan memperhatikan keluasan masalah fikih, dari satu sisi, dan adanya banyak riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum a.s. pada seluruh masalah fikih, dari sisi lainnya, apabila dalam Alquran hanya disebutkan satu ayat yang berkisah tentang khumus, maka hal ini bukan merupakan suatu hal yang aneh. Hukum-hukum lainnya dapat diperoleh dari riwayat-riwayat standar dari para Imam Maksum a.s. sebagaimana terkait dengan hukum amalan wajib lainnya seperti puasa atau haji yang hanya disebutkan pada tiga atau empat ayat [Kanz al-‘Irfan, hal. 179 & 242]. Atau amalan wajib lainnya seperti salat, rukun-rukun, syarat-syarat dan sebagainya yang juga sangat penting namun tidak disinggung dalam Alquran.


Oleh itu, seluruh mazhab Islam memanfaatkan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan amalan-amalan wajib tersebut untuk dapat menyimpulkan hukum-hukum syariat. Ayat yang terkait dengan kewajiban khumus yang disebutkan pada surah al-Anfal ayat 41 sangat jelas dan memiliki petunjuk yang terang.


Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizan menuturkan, “Ghanama” dan “ghanimat” bermakna seseorang yang memperoleh penghasilan yang didapatkan dari perniagaan atau industri atau perang[4] dan meski obyek ayat adalah pampasan perang (ghanima) namun obyek dan instanta (mishdaq) sebuah ayat tidak dapat menspesifikasi (mukhashsih) makna ayat. [Tafsir al-Mizan, 9/120]


Karena itu, makna ayat bersifat umum dan secara lahir ayat dapat disimpulkan bahwa hukum yang menjadi obyek ayat adalah berkaitan dengan segala sesuatu yang dipandang sebagai ghanimat meski sumbernya dari pampasan perang (ghanimat) dari orang kafir dan bukan dari orang kafir seperti barang tambang, harta karun, mutiara yang diperoleh dengan menyelam dan sebagainya.


Imam Muhammad Jawad a.s. bersabda, “Ghanaim (plural ghanima, pampasan) dan fawaid (segala bentuk keuntungan dan pendapatan) yang sampai kepada kalian wajib (harus) kalian keluarkan khumusnya. Kemudian Imam Jawad a.s. membacakan ayat khumus. [Wasâil al-Syiah, 6/8]


Kendati pada ayat hanya menyebutkan ghanaim namun Imam Jawad a.s. menambahkan “fawaid” dalam menafsirkan ghanaim tersebut. Allamah Thabathabai berkata: “…Khumus tidak terkhusus pampasan-pampasan perang (ghanaim) saja. Hal ini dapat disimpulkan dari riwayat-riwayat mutawatir yang banyak dan melimpah.” [Tafsir Al-Mizan, 9/136 & 137]


Dalam literatur-literatur Ahlusunnah juga terdapat banyak riwayat yang menyebutkan bahwa khumus dibagikan pada masa Rasulullah saw sendiri dan beliau saw selama hidupnya menunaikan kewajiban ini. Suyuthi menukil dari Ibnu Abi Syaibah dari Jabir bin Math’am:


“Rasulullah saw membagikan saham Dzil Qurba di antara Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib, kemudian aku dan Utsman bin Affan datang kepada Rasulullah Saw dan meminta juga untuk mendapatkan saham. Kami berkata, ‘Apakah Anda membagikan (khumus) kepada saudara-saudara kami dari Bani Muthalib dan tidak memberikan kepada kami? Padahal kami sederajat dengan mereka dari sisi kekerabatan?’ Rasulullah Saw menjawab: ‘Mereka sama sekali tidak pernah berpisah dari kami (baik) pada masa jahiliyyah atau pun pada masa Islam.’” [Al-Durr al-Mantsur, 3/186]


Maka jelas bahwa khumus bukanlah rekaan dan ciptaan orang-orang Mazhab Syiah. Bahkan Syiah adalah satu-satunya mazhab yang berkukuh dan berketerusan mengamalkan ayat suci ini. Karena kerabat dan keluarga terdekat Rasulullah Saw senantiasa ada sepanjang sejarah dan di antara mereka juga terdapat yang fakir dan miskin.


*Disadur dari Islamquest

bottom of page