top of page

21 Ramadan, Bapak Para Yatim Berpulang


Sudah menjadi kebiasaannya, Imam Ali a.s. membawakan makanan untuk keluarga yang tidak memiliki kepala keluarga. Di suatu hari, beliau melihat seorang anak yatim yang tidak bisa diam dan terus menangis. Imam pun bertanya mengapa ia menangis. Anak itu berkata: “Anak-anak di gang berkata kepadaku, ‘engkau tidak memiliki ayah.’”


Imam Ali pun berkata kepadanya: “Katakan kepada mereka bahwa Amirul Mukminin, Khalifah Muslimin adalah ayahku.”


Anak itu masih belum bisa diam dan berkata: “Anak-anak itu memiliki kuda yang terbuat dari kayu, sementara aku tidak memilikinya.”


Imam Ali kemudian mencarikan kayu dan memberikannya kepadanya. Anak itu begitu gembira dan berhenti menangis. Tapi anak yatim itu tiba-tiba mengingat ayahnya yang telah meninggal. Ia mengatakan: “Saya menginginkan kuda yang bisa ditunggangi dan membawaku bergerak ke mana-mana.”


Sang Amirul Mukminin, penakluk benteng Khaibar dan pemimpin umat Islam itu kemudian menaikkan anak yatim itu ke atas punggungnya dan seperti kuda beliau bergerak ke sana-sini, sampai anak itu tertidur. Dengan hati yang puas, Ali as menidurkan anak itu di pembaringan dan setelah itu beliau sendiri pergi tidur. Ya, Ali bin Abi Thalib a.s. adalah bapak para yatim, ia tanggalkan semua gelar agungnya demi untuk dapat menyenangkan hati para yatim yang ditinggal ayahnya.



Namun, ada sekelompok orang-orang sesat telah berkumpul untuk membunuh Imam Ali. Kesepakatan mereka adalah membunuhnya ketika beliau melaksanakan salat Subuh. Karena, tidak satu pun dari mereka yang berani berhadap-hadapan langsung dengan sang Singa Allah ini.


Pada waktu itu, tepat malam ke-19 dari bulan Ramadan. Imam Ali bin Abi Thalib banyak melakukan perenungan dengan melihat-lihat angkasa. Ia senantiasa mengulang-ulang kalimat ini, “Engkau (wahai Rasulullah) tidak berbohong dan tidak pernah membohongi orang lain. Malam ini adalah waktu yang engkau janjikan.”


Imam Ali bin Abi Thalib menghabiskan malamnya dengan berdoa dan bermunajat kepada Allah Swt. Setelah itu, beliau keluar dari rumah menuju masjid untuk menunaikan salat Subuh. Sesampainya di masjid, ia membangunkan orang-orang yang terbiasa beribadah di sana lalu terbawa tidur.


Beliau membisikkan kata, “Salat... Salat...!” Setelah itu, Imam Ali menunaikan salatnya. Ketika beliau tengah asyik bermunajat kepada Allah, tiba-tiba seorang durjana lagi celaka bernama Abdurrahman bin Muljam mengucapkan semboyan kelompok Khawarij dengan suara lantang: “La hukma illa lillah (tiada hukum kecuali milik Allah).” Secepat kilat, dia mengayunkan pedangnya dan menghujam tepat di kepala suci Imam Ali. Kepala Imam Ali merekah akibat tebasan itu. Seketika itu pula, Ali bin Abi Thalib mengucapkan kalimat: “Fuztu wa Rabbul Ka‘bah (sungguh aku menang, demi Tuhan Pemilik Ka’bah).”


Terdengarlah suara riuh di dalam mesjid. Orang-orang cepat berlarian mendekati Imam Ali. Mereka mendapatkannya tergeletak di mihrabnya lalu membawanya pulang ke rumahnya dalam keadaaan kepala diikat, sementara masyarakat dari belakang mengikuti sambil menangis. Orang-orang berhasil menangkap Ibnu Muljam. Imam Ali pun berwasiat kepada anak tertuanya al-Hasan, juga kepada anak-anaknya yang lain serta keluarganya agar berlaku baik terhadap tahanan. Beliau berkata: “Nyawa dibalas dengan nyawa. Maka, bila aku mati, kalian harus mengqisasnya. Dan bila aku hidup, aku akan mengambil keputusan sesuai dengan pertimbanganku.”\


Imam Ali menasihati kedua putranya Hasan dan Husain, dan seluruh keluarganya dengan wasiat umum. beliau berkata: “Aku berwasiat kepada kalian berdua. Bertakwalah kepada Allah, jangan mengikuti dunia sekali pun ia menginginkan kalian! Jangan bersedih terhadap sesuatu yang hilang dari tangan kalian! Berkatalah tentang kebenaran dan beramal untuk mendapat balasan dari Allah. Jadilah pembela orang-orang yang terzalimi dan bersikap keras terhadap orang zalim. Berbuatlah sesuai dengan perintah dalam Alquran, dan jangan khawatir akan cemoohan orang selama (kalian berada) di jalan Allah.”


Lukanya yang parah tidak memberikan kesempatan lagi untuknya, setelah tiga hari menahan sakit akibat racun yang dibubuhkan Ibnu Muljam dalam pedangnya Sang Putra Ka’bah telah mendekati ajalnya. Kalimat terakhir yang keluar dari bibirnya sebelum ajal menjemput ialah firman Allah Swt: “Demikianlah seyogianya orang-orang yang beramal baik mesti berbuat.” Kemudian, ruh yang suci itu naik menemui surga yang dijanjikan.


Al-Hasan dan Husain a.s. melakukan segala keperluan pemakaman ayahanda. Mereka berdua memandikan dan mengafaninya. Setelah itu, Imam Hasan melakukan salat jenazah untuk sang ayah diikuti oleh sejumlah keluarga dan sahabat-sahabat. Kemudian mereka membawanya ke tempat peristirahannya yang terakhir. Imam Ali dimakamkan di kota Najaf, dekat kota Kufah.


Sahabat setia Imam, Sha’sha’ah bin Shuhan berdiri lalu berpidato dan mengenang imamnya. Ia berkata:


“Wahai Abal Hasan. Kini engkau dalam keadaan lebih baik. Engkau lahir dengan baik, kesabaranmu kuat, jihad dan perjuanganmu sungguh agung. Engkau berhasil dengan pendirianmu, engkau untung dalam perniagaanmu. Engkau menemui Penciptamu dan Dia menerimamu dengan janji mulia-Nya, sementara engkau diiringi para malaikat. Kini, engkau berada di samping al-Musthafa saw. Semoga Allah memuliakanmu berada di samping Muhammad saw. Engkau telah bergabung dengan saudaramu, Muhammad saw....


Engkau telah menegakkan agama Allah dengan sungguh-sungguh. Engkau telah menegakkan sunah Nabi saw dan memerangi fitnah dengan keras, sehingga Islam dan iman tetap tegak. Kuucapkan salawat dan salam yang paling utama dan terbaik atasmu. Sesungguhnya Allah telah memuliakan derajatmu. Engkau adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw dari sisi keturunan dan yang paling awal memeluk agama Islam. Engkau adalah orang yang paling teguh keyakinan dan yang iman hatinya paling kuat. Engkaulah orang yang paling keras berjuang demi agama Islam. Engkaulah orang yang paling besar baktinya dalam kebaikan. Maka, jangan ditahan pahalanya untuk mengalir kepada kami, dan kami tidak akan hina sepeninggalmu.”

bottom of page