top of page

Dana Mustadhafin dan Harapan Masa Depan Pemberdayaan



Kemiskinan adalah predikat melekat pada kehidupan umat manusia. Keberadaannya tumbuh  dan ber-kembang secara dinamis mengikuti sejarah peradaban manusia. Banyak faktor penyebabnya. Sebagian kemiskinan ter-jadi karena ketidakmampuan mereka dalam menjawab kebutuhan dan tan-tangan yang dihadapi. Sebagian lainnya karena ketidakadilan sosial, baik oleh kebijakan pemimpin politiknya maupun perilaku pasar yang tidak berpihak pada kemaslahatan bersama. Lahirlah apa yang disebut eksploitasi dan sejenisnya.

 

Bahkan di antara perilaku eksploitatif yang terjadi di tengah masyarakat adalah dengan menyalahkan kemiskinan dan orang-orang miskin itu sendiri. Para ahli psikososial menyebutnya sebagai blaming the victim (menyalahkan korban). Banyak orang menjelaskan buruknya kesehatan orang-orang miskin karena kebodohan, kejorokan dan perilaku mereka yang tidak bersih. Mereka menghuni rumah-rumah gubuk sederhana karena mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan kota. Mereka melarat karena kurang semangat berusaha (wiraswasta), tidak memiliki hasrat berkompetisi dan berprestasi, fatalis, malas dan hal-hal yang kemudian dengan cepat disebut sebagai budaya kemiskinan. Pendeknya mereka miskin karena mereka memang wajar untuk miskin.

 

Jika wilayah-wilayah perkampungan miskin dilanda bencana,  dengan mudah dijustifikasi bahwa mereka “dihukum Allah” karena kemaksiatan dan banyak lagi predikat yang bisa ditimpakan. Demikianlah sikap yang sangat berbahanya pada sebagian orang dalam memandang kemiskinan. Sementara itu ada sejumlah pesan agama sekaitan dengan perhatian dan sikap positif terhadap kemiskinan sebagai sebuah media untuk meraih kemuliaan dan kehormatan. Di saat yang sama kecaman dan ancaman pada sikap abai dan lalai terhadap kemiskinan begitu mengerikan.

 

Pesan Nabi Muhammad Saw dalam sebuah riwayat; “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya manusia” (hadis), selalu menghantui dan menghakimi saya. Rupanya untuk menjadi manusia terbaik di antara semua manusia tidak cukup dengan berpuas-puas melalui ibadah ritual. Bahkan bisa jadi semua jenis ritual itu menjadi pepesan kosong jika tanpa dibarengi dengan perhatian yang intensif, berkelanjutan, terprogram terhadap nasib manusia dan kemanusiaan.

 

Pada riwayat lainnya, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Serahkanlah sedekahmu sebelum datang suatu masa, Ketika engkau berkeliling menawarkan sedekahmu tetapi orang-orang miskin menolaknya seraya berkata, “hari ini kami tidak perlu lagi bantuanmu. Yang kami perlukan adalah darahmu”. Kemiskinan tidak sertamerta menimbulkan keresahan. Kemiskinan hanya akan meresahkan jika secara kontras berhadap-hadapan dengan kemewahan. Jika di sebuah perkampungan masyarakatnya hanya mengkonsumsi gaplek, singkong, nasi jagung lalu di sebrang sana, di balik perkampungan mewah mereka makan hamburger, pizza disertai setumpuk makanan dan minuman yang berlebih-lebihan secara mubazir, maka anda tidak normal jika tidak resah.

 

Tidakkah kita menangkap pandangan tajam dari mata orang-orang frustrasi, karena tidak mendapat pekerjaan, kehilangan usaha kecil akibat tergilas persaingan yang ganas, tidak diterima di lembaga-lembaga pendidikan atau  harus merelakan rumah dan sepetak tanahnya digusur atas pembangunan properti orang-orang kaya? Road map dan jalan yang dapat mengantarkan manusia menjadi paling bermanfaat dan berguna bagi sesama sebetulnya sangat mudah dan bisa terjadi dalam keseharian.

 

Interaksi antar manusia yang berlangsung realtime memungkinkan terbukanya peluang mengenali lebih dekat problem sosial. Sangat kasat mata, setiap manusia saling membutuhkan dan memiliki kepentingan yang sama. Persamaan untuk mendapatkan perlakuan yang santun, saling menghormati dan memuliakan. Lebih dari itu, mengenali lebih dekat kebutuhan yang bersifat sosial, ekonomi dan spiritual.

 

Salah satu sifat khas manusia adalah mampu mengemban kewajiban yang bersimpul pada kerangka hukum yang sejalan dengan fitrahnya. Salah satu bentuk fitrahnya adalah sebagai makhluk sosial. Sifat tersebut terkadang hadir dioptimasi lewat sentuhan pada sisi emosionalnya yang bersifat reaktif. Tapi di saat yang sama juga bisa menemukan bentuknya yang bersifat idiologis terutama ketika sudah menjadi sifat yang melekat pada kepribadiannya. Misalnya kesadaran tentang tanggungjawab sosial, kepekaan (emphaty) pada kemiskinan, dan problem sosial lainnya yang menelantarkan mustadhafin. Kesadaran demikian akan mendorongnya menjadi sosok penggerak yang inovatif dan kreatif untuk gerakan pemberdayaan sosial, bahkan menempatkan sikap dan kerja pemberdayaan sosial sebagai kewajiban.

 

Jelaslah, setiap orang baru bisa menjalankan kewajibannya kalau dia sadar dan tahu akan eksistensi setiap kewajibannya. Dengan kata lain, setiap orang wajib tahu terlebih  dahulu sebelum diminta untuk menunaikannya. Alquran secara berulang menyebutkan penting dan mulianya memberi perhatian terhadap sesama manusia. Penjelasan sekaitan hukum-hukum zakat, infak, dan sedekah sangat jelas dan detail sedemikian sehingga semestinya tidak akan ada lagi manusia yang tidak mengetahui bahwa hal tersebut diperintahkan dan wajib atasnya. Hal yang sama, penjelasan terkait objek yang menjadi sasaran dan manfaat dari zakat, infak dan sedekah begitu gamblang. Bahwa di sekitar ada anak yatim, fakir miskin, dhuafa dan seterusnya haruslah menjadi tanggungjawab bersama dalam kehidupan masyarakat untuk mengentaskannya.

 

Pemberdayaan adalah terminologi yang sangat akrab dengan gerakan kemanusiaan. Karena itu pemberdayaan dalam makna generiknya memberikan perhatian dan bantuan yang berkelanjutan diikuti dengan program yang dapat diproyeksikan, diukur dan dievaluasi. Prinsip dasar pemberdayaan adalah kesetaraan yang berkeadilan. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pada nilai-nilai kemanusiaan. Menempatkan mereka yang miskin dan mustadhafin pada posisi yang dimuliakan. Menghidupkan rasa percaya diri, tanggungjawab dan komitmen adalah bagian yang tak terpisahkan. Membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang dapat menjadi modal agar menjadi instrumen untuk menggali dan menumbuhkan potensi kreatifnya.

 

Di tengah berbagai problem sosial dengan dampaknya yang begitu menganga lebar berupa frakmentasi sosial antara kaya dan miskin, diperlukan adanya kerja sama yang masif antar berbagai pihak. Pada kehidupan sosial yang bersifat makro, uluran tangan dari pihak yang beruntung dalam menolong yang tidak beruntung akan memperkukuh integritas sosial. Sebaliknya acuh tidak acuh atas penderitaan orang lain akan berbalik menjadi bumerang.

 

Sebagai lembaga yang dikelola dalam sebuah kesadaran kolektif para pengurusnya untuk Gerakan Pemberdayaan dan Pelayanan Sosial, Dana Mustadhafin tampil sebagai lembaga filantropi pemberdayaan dalam kerangka menolong orang miskin sedang dalam kondisi diberdayakan. Mereka diberdayakan secara sosial dan juga secara spiritual. Hal yang sama, mereka yang menerima bantuan juga diberdayakan secara ekonomi dan spiritual. Karena itu pada hakikatnya, membantu yang lemah sesungguhnya meneguhkan yang kuat dalam ikatan solidaritas sosial. B

 

antuan yang diberikan sebetulnya bukanlah anugerah tetapi harga yang kita bayar demi kerja sama yang saling menguntungkan. Jadi sejatinya solidaritas sosial berpangkal pada mentalitas, yakni persepsi dan kesadaaran yang berbasis pada azas kemanfaatan yang diraih secara bersama. Yang kaya karena rezeki halal dari Allah Swt mendapatkan keberkahannya ketika manfaat dirasakan secara bersama oleh mereka yang miskin. Dan bersama dengan itu orang-orang miskin secara perlahan keluar dari kemiskinan sehingga menjadi masyarakat yang produktif melalui aneka bentuk pemberdayaan yang diberikan kepadanya, berupa pendidikan, keterampilan dan   pembinaan tatalaksana kehidupan yang lebih baik.

 

Pada kerangka inilah Dana Mustadhafin hadir di tengah masyarakat menjembatani hubungan kerja produktif antara kaya dan miskin dalam ikatan solidaritas sosial dengan slogan “Mari Berdaya, Peduli dan Terpercaya.” Semoga, insya Allah. Wallahu’alam  

 

bottom of page