top of page

Ayat Ghanimah Dalil Pensyariatan Khumus


“Dan ketahuilah apa pun yang kalian peroleh berupa sesuatu, maka sesungguhnya seperlimanya (khumusnya) adalah milik Allah, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kalian telah beriman kepada Allah dan pada apa yang Kami turunkan atas hamba Kami pada hari al-furqan, yaitu hari bertemunya dua kelompok, dan Allah Mahamampu atas segala sesuatu.” (QS. al-Anfal: 41)


Kata “ghanimah” dalam ayat tersebut, menurut Al-Khazin: Allah Swt menyebutkan dalam ayat ini hukum ghanimah, “Dan ketahuilah apapun yang kalian peroleh berupa sesuatu”, maksudnya dari sesuatu apa pun, walau pun dari benang dan jahitan, “...maka sesungguhnya seperlimanya (khumusnya) adalah milik Allah, Rasul...”

Kemudian beliau singgung tentang pembagian khumus berikut ini:


Firman Allah Swt, “jika kalian telah beriman kepada Allah...”, maksudnya, ketahuilah wahai kaum mukmin, sesungguhnya khumus (seperlima) dari ghanimah diserahkan kepada golongan-golongan yang disebutkan dalam ayat ini, maka putuskanlah kerakusan kalian darinya (khumus) dan puaslah dengan empat perlima dari ghanimah, jika kalian telah beriman kepada Allah dan percaya pada ke-Esaan-Nya.


“Pada apa yang Kami turunkan atas hamba Kami...” maksudnya kalian telah beriman pada apa yang diturunkan atas hamba Kami, Muhammad saw. Ini merupakan tambahan penghormatan dan pengagungan untuk Nabi saw dan untuk yang Dia turunkan atas hamba-Nya, Muhammad saw. (Tafsir al-Khazin 2/185-187)


Alamah Thabathaba'i dalam kitab tafsirnya, al-Mizan, menerangkan: Makna ayat ini -wallahu a'lam- ketahuilah bahwa khumus dari apa yang kalian dapatkan, apa pun itu maka ia milik Allah, Rasul-Nya, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Karena itu, kembalikan ia kepada para pemiliknya jika kalian telah beriman kepada Allah dan pada apa yang Dia turunkan atas hamba-Nya, Muhammad saw, pada perang Badar. Sesungguhnya anfal dan rampasan perang milik Allah dan Rasul-Nya. Tidak seorang pun yang menyertai Allah dan Rasul-Nya dalam urusan itu, namun Allah telah membolehkan kalian untuk makan darinya dan menggunakannya, dan Allah Yang memperbolehkan kalian untuk mempergunakan harta itu telah memerintahkan kalian agar menunaikan khumusnya kepada para pemiliknya.


Makna lahiriah ayat ini menunjukkan adanya syariat khumus untuk selamanya, seperti halnya makna lahiriah dari syariat-syariat Quran lainnya, dan bahwa hukum ini berkaitan dengan apa yang dinamakan dengan keuntungan dan ghanimah, baik keuntungan dari peperangan yang diambil dari orang-orang kafir maupun keuntungan lainnya secara bahasa, seperti keuntungan usaha, hasil dari penyelaman, hasil nelayan, harta yang diperoleh dari harta karun dan pertambangan, walaupun ayat ini turun berkenaan dengan harta rampasan perang. Namun obyek ayat ini tidak memberikan makna khusus.“ (Al-Mizan, 9/106)


Kemudian beliau mengatakan: Apa yang terkandung dalam riwayat-riwayat, sesungguhnya Allah Swt menghendaki dalam pensyariatan khumus untuk menghormati Ahlulbait Nabi saw dan keluarganya serta mengangkat mereka untuk (tidak) mengambil harta-harta kotor umat manusia. Yang jelas, pemahaman ini diambil dari firman Allah kepada Rasul-Nya saw tentang ayat zakat, “Ambillah dari harta-harta mereka sedekah yang dengannya kamu membersihkan mereka dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doamu akan menyenangkan mereka.


Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan:

  1. Ayat di atas menunjukkan bahwa khumus disyariatkan seperti pensyariatan salat, puasa, zakat dan haji yang diserukan agar dilaksanakan oleh muslimin.

  2. Beberapa penegasan terkait khumus di antaranya yang terpenting ialah bahwa pelaksanaannya merupakan kewajiban syar’i yang menjadi syarat keimanan kepada Allah dan keimanan pada apa-apa yang diturunkan kepada Rasul-Nya saw berupa syariat-syariat yang terkandung dalam Alquran.

  3. Obyek syariat ini adalah keuntungan -sebagaimana telah dijelaskan- yang sebagiannya menjadi bagian Allah dan Rasul-Nya, serta para kerabat (dari Rasul saw), para anak yatim, para miskin dan ibnu sabil.


*Disarikan dari buku Khumus, Hukum dan Penyalurannya – Abdul Aly al-Sayf

bottom of page