top of page

Rahasia Keabadian dan Kebenaran Syariat Islam


Sebagai agama terakhir dan syariat yang paling sempurna, Islam adalah agama yang hukum-hukum dasarnya berlaku abadi sepanjang zaman, Alquran dan berbagai riwayat Islam menegaskan kelanggengan hukum-hukum dasar Islam. Allah Swt berfirman bahwa pada Alquran tak ada celah sedikit pun untuk kebatilan. Yang tidak datang kepadanya (Alquran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS. Fushshilat: 42)


Rasulullah saw juga bersabda: “Halalnya Muhammad adalah halal hingga Hari Kiamat, dan haramnya pun juga haram hingga hari kiamat.” (Al-Kafi, 1/58)


Pertanyaannya adalah mengapa syariat Islam berlaku untuk selamanya?



Untuk menjawab pertanyaan ini, yang pertama harus diingat bahwa hukum-hukum Islam ditetapkan berdasarkan hakikat wujud dan fitrah manusia. Karena hakikat wujud manusia ini solid sepanjang zaman maka hukum-hukum Islam pun juga solid. Inilah rahasia mengapa hukum-hukum Islam berlaku sepanjang zaman.


Ilmu pengetahuan dan teknologi boleh saja mengubah pola hidup manusia, namun tidak mungkin dapat mengubah esensi manusia. Pada manusia terdapat serangkaian perkara yang memancar langsung dari fitrahnya dan akan terus memancar sepanjang zaman. Perkara-perkara fitri itu antara lain adanya minat untuk mendapat pengetahuan, hasrat untuk menjadi lebih sempurna, simpati dan rasa peduli kepada sesama dan bahkan kepada satwa dan lingkungan hidup, keinginan untuk berbisnis dan memiliki harta benda, kebutuhan kepada pasangan hidup, papan dan sandang pangan serta keamanan, keterpesonaan kepada keindahan serta ketertarikan pada norma-norma seperti keadilan, kedisiplinan, bantuan kepada sesama, pengorbanan dan kebencian kepada kezaliman, kepalsuan, kebohongan dan pengkhianatan, dan seterusnya.



Semua ini berarti bahwa meskipun pola hidup zaman sekarang berbeda dengan pola hidup orang-orang terdahulu, namun fitrah manusia tetap bertahan konstan dan solid. Tentang ini Alquran menegaskan: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS.al-Rum: 30)


Atas dasar ini, hasrat manusia kepada agama adalah hasil dari desakan fitrahnya. Fitrah ini tak kenal kata perubahan, sedangkan agama Ilahi adalah ajaran yang merespons desakan fitrah. Sementara itu, masyarakat tentu mengalami perkembangan dari hari ke hari. Manusia seakan tak pernah berhenti berhadapan dengan persoalan-persoalan baru. Karena itu kita mungkin masih bertanya-tanya bagaimana mungkin hukum Islam yang konstan dapat merespon persoalan-persoalan tersebut?


Perlu diketahui bahwa sumber-sumber Islam sedemikian kaya dan luas sehingga bisa dijadikan acuan penetapan hukum untuk persoalan apa pun. Ini ibarat soal soal matematika di mana seorang matematikawan dapat menyelesaikan persoalan matematika apapun berdasarkan kaidah-kaidah dasar matematika. Di samping itu, para ulama Islam juga memiliki beberapa perangkat lain untuk menggali dan menentukan hukum bagi persoalan apa pun. Perangkat-perangkat itu ialah sebagai berikut:


1. Validitas akal: Islam mengakui validitas kaidah-kaidah sahih akal sehingga dapat dijadikan acuan untuk menetapkan hukum pada sebagian persoalan. Banyak teks keislaman atau nash yang menempatkan validitas akal sejajar dengan validitas Alquran dan riwayat. Dengan demikian, akal merupakan salah satu sumber fikih Islam untuk menetapkan hukum pada sebagian persoalan.


2. Kaidah prioritas (aham wa muhim): Hukum Islam mempertimbangkan faktor maslahat dan mudarat, dua hal yang tentu sangat kontras satu sama lain. Pada kasus atau problem tertentu, para ulama dapat menimbang antara maslahat dan mudarat untuk kemudian mengambil keputusan di mana hal yang tidak terlalu penting dari segi maslahat jangan sampai mengorbankan hal yang lebih penting, Kaidah ini menjadi kunci bagi para ulama untuk mengurai berbagai persoalan dilematik.



Contohnya, di kita sekarang dunia kedokteran memerlukan praktik autopsi untuk mengembangkan ilmu kedokteran. Dari sisi lain, jenazah seorang muslim dalam kacamata Islam memiliki kehormatan tersendiri. Keduanya sama-sama maslahat, namun harus ditinjau lagi mana yang lebih membawa maslahat. Manakah yang lebih penting: riset kedokteran yang hasilnya dapat menunjang kesehatan ribuan orang ataukah penghormatan terhadap jenazah?


3. Terbukanya pintu ijtihad: Bagian ini adalah satu kebanggaan bagi mazhab Ahlulbait, dan menjadi salah satu kunci aktualitas syariat Islam, Dengan mengacu pada Alquran, riwayat, ijmak dan akal para ulama Ahlulbait dapat melakukan ijtihad secara konstan dan turun-temurun untuk beristinbat hukum atas berbagai persoalan kekinian.



4. Penerapan kaidah-kaidah dominan fikih: Dalam Islam terdapat serangkaian kaidah seperti penafian kesusahan (nalyul haraj) dan penafian mudarat (nafyudh dharar) yang juga menjadi kunci bagi para ulama untuk menyelesaikan banyak persoalan pelik. Para fakih menyebut kaidah-kaidah ini sebagai kaidah dominan (qa'idah hakimah), yakni kaidah yang berlaku dan dominan pada semua hukum dan Islam. Berdasar kaidah ini, setiap hukum Islam yang memberatkan atau menimbulkan kesulitan, kesusahan, mudarat dan kerugian, boleh untuk tidak diterapkan. Hanya saja, penentuan demikian adalah kewenangan para ulama. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengikut ajaran yang menerapkan kaidah-kaidah ini tidak akan pernah menemukan kebuntuan di tengah dinamika kehidupan.


Dari penjelasan di atas dapat dimengerti mengapa syariat Islam bersifat konstan, berlaku untuk selamanya dan pasti dapat merespons semua kebutuhan agama umat manusia.

bottom of page