top of page

Hal yang Menghalangi Perilaku Bijaksana

Diperbarui: 7 Des 2021



Di antara definisi Bijaksana adalah akal. Akal yang merupakan sumber pemikiran manusia dapat dipengaruhi dan dikalahkan oleh berbagai faktor, yang selanjutnya menjadikan pemikiran manusia, perilaku, dan tindakannya tidak bijaksana. Pembahasan berikut ini adalah tentang faktor yang bisa mempengaruhi akal, pemikiran, dan perbuatan manusia, yang menghalanginya dari menggunakan akal dan hikmah.


A. Faktor Kejiwaan


Sebagian orang mempunyai pandangan bahwa kesulitan yang dimiliki manusia dalam bidang pemikiran dan tingkah laku adalah urusan akal belaka, dan tidak ada hubungannya dengan jiwa manusia. Oleh karena itu untuk menyelesaikannya manusia memerlukan serangkaian aturan yang menata pemikiran dan perbuatannya. Yang benar tidaklah demikian. Justru kesulitan tersebut menjadi masalah kejiwaan sebelum menjadi masalah akal dan pemikiran. Untuk itu yang perlu kita lakukan terlebih dahulu adalah mengobati jiwa, sebelum kita meletakkan serangkaian aturan bagi akal, pemikiran, dan tingkah laku.



B. Naluri dan Hawa Nafsu


Allah Swt berfirman: “Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi'at: 40-41)


Dalam diri manusia terdapat sekumpulan naluri atau syahwat, seperti naluri makan dan minum, naluri seksual, naluri mencintai anak, naluri cinta kepada kekuasaan, naluri mengikuti penguasa, dan sebagainya. Dengan mencermati persoalannya lebih jauh, kita akan tiba pada sebuah kesimpulan bahwa seluruh naluri tersebut bermuara kepada satu naluri, yaitu hawa nafsu, atau cinta diri.


Hawa nafsu adalah salah satu faktor terpenting yang menghalangi hikmah dari diri manusia. Yang dimaksud dengan hawa nafsu di sini ialah memikirkan dan mencintai apa-apa yang diinginkan oleh nafsu, walaupun bertentangan dengan pandangan akal. Ini berarti, berlebihan dalam mencintai diri dan mempergunakan naluri-naluri yang ada di luar batas yang dibenarkan agama. Sayidina Ali berkata: “Hawa nafsu adalah musuh akal.”


Akar Kejiwaan dari Penghalang Hikmah


Dalam diri manusia terdapat dua kekuatan yang saling bertentangan: kekuatan akal dan kekuatan kebodohan. Kebodohan adalah kekuatan yang bersumber dari watak wujud manusia yang memang tidak sempurna. Adapun akal adalah karunia yang Allah berikan kepada manusia. Sesungguhnya kecintaan manusia yang sangat kepada materi bersumber dari wataknya. Akar kejiwaan dari kesalahan-kesalahan dan penghalang-penghalang hikmah tidak lain kecuali pantulan dan ekspresi dari watak tersebut. Akar-akar itu adalah:


A. Cinta


Cinta adalah ketertarikan jiwa kepada sesuatu. Kekuatan cinta menekan jiwa supaya menginginkan sesuatu itu. Di sini ada dua kemungkinan, yaitu manusia tunduk kepada kekuatan cinta yang menekannya atau menolaknya. Jika jiwa tertarik kepada sesuatu berdasarkan penjelasan akal, maka ini adalah cinta akal, yaitu cinta yang sejalan dengan akal. Jika jiwa tertarik kepada sesuatu yang menyalahi akal dan mencintainya, maka ini adalah cinta nafsu, yang bertentangan dengan akal. Dan inilah hawa nafsu yang menghalangi hikmah.


B. Kehilangan Kepercayaan Diri


Manusia yang kehilangan kepercayaan diri tidak memberikan kesempatan kepada dirinya untuk berpikir dan berbuat sesuatu, walaupun sebenarnya dia mampu. Dia juga tidak yakin dengan hasil pikirannya dan tidak mempunyai kepercayaan diri dalam berbuat sesuatu. Orang yang tidak memberikan kesempatan kepada dirinya untuk berpikir, tidak yakin dengan hasil pemikirannya, dan tidak mempunyai kepercayaan diri dalam berbuat maka dia terhalang untuk mendapatkan hikmah.



Akibat dari ketidakpercayaan diri ini adalah: (a) Terisolasi tanpa sumber pengetahuan, jelas hal ini akan membuat seseorang jauh dari hikmah. (b) Larut dalam kepribadian orang lain. Banyak individu, bahkan umat, kehilangan kepercayaan terhadap diri dan kemampuan mereka. Mereka ragu mengakui hakikat yang mereka temukan, hanya karena hal itu berbeda dengan pandangan orang lain. Namun, tentu saja larut dalam kepribadian orang-orang yang bijak, seperti Rasulullah Saw akan menjadikan seseorang bijaksana.


C. Tergesa-gesa


Sayidina Ali berkata di dalam wasiatnya menjelang wafat, “...Aku melarangmu dari sikap tergesa-gesa dalam berkata dan berbuat.” Tergesa-gesa adalah sifat atau keadaan yang tumbuh dari naluri kecintaan kepada kenyamanan. Sesungguhnya hikmah, berpikir logis, dan perilaku yang lurus menuntut seseorang untuk merenung dan hati-hati dalam berpikir dan melaksanakan hasil-hasil pemikirannya. Hal ini berarti menuntut manusia untuk berusaha keras dan berkonsentrasi. Karena itulah banyak manusia lari ke sikap tergesa-gesa supaya mereka terhindar dari beban kesulitan berpikir. Akibatnya, yang muncul dari mereka adalah pemikiran dan perilaku yang salah dan tidak bijaksana.



Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa hati-hati maka dia telah benar atau hampir benar, dan barang siapa tergesa-gesa maka dia telah salah atau hampir salah.



Dana Mustadhafin


bottom of page