top of page

Kekayaan dan Kefakiran Adalah Media Ujian




(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya. (QS. al-Hadid: 23)


Seorang mukmin hendaknya tidak terikat oleh dunia. Sebab, bila dunia sudah berada di tangan seseorang dan itu merupakan kenikmatan dari Allah Swt yang merupakan alat ujian baginya. Ketika dunia diambil darinya, itu juga adalah ujian lain berbentuk bencana dan ia mesti sabar menghadapinya.



Seorang mukmin pasti yakin dengan apa yang baik dan maslahat dari sesuatu yang telah ditakdirkan Allah Swt. Jika seisi dunia ada di tangannya, itu adalah kebaikan baginya. Begitu pula jika ia tertimpa kesulitan dan kezaliman orang lain, ia akan berbaik sangka kepada Allah Swt; menganggap itu semua juga sebagai kebaikan. Ia merasa bahwa semua kesulitan dan cobaan adalah penyebab terampuninya dosa serta naik derajatnya.


Berbeda dengan anggapan orang yang memiliki pandangan dangkal; ketika Allah Swt menakdirkan seseorang menjadi fakir, ia menganggap takdir-Nya didasari oleh kebencian. Begitu pula ketika Allah Swt memberi rezeki kepada seseorang, ini bukan berarti Allah mencintainya. Manusia jahil yang tidak mengambil manfaat dari ajaran agama ketika ditimpa kemiskinan, akan berkata bahwa Allah telah menghinakannya dan ia tidak bernilai di sisi-Nya sehingga berprasangka Allah Swt membuatnya sengsara.



Allah Swt dalam Alquran menyinggung masalah ini: Adapun bila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka ia berkata, “Tuhanku menghinakanku. (QS. Al-Fajr: 16)


Sementara di ayat lain Allah Sw berfirman: Adapun manusia apabila Tuhan mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku”. (QS. Al-Fajr: 15)


Alquran, selain menyatakan bahwa kefakiran dan kekayaan merupakan ujian, juga menegaskan bahwa itu semua merupakan hasil dari sebab-akibat. Terkadang kefakiran seseorang diakibatkan oleh amal keburukannya dan balasan dunia atas perbuatannya, di mana ia tidak berkasih sayang kepada orang fakir dan hanya menumpuk harta untuk diri sendiri.


Setiap sesuatu tentunya memiliki perhitungan, hikmah dan maslahat. Ini bukan berarti semua keluar dari wewenang Allah Swt atau akibat kelalaian-Nya, sehingga keadaan menjadi rusak, seperti lahar api yang begitu saja keluar dari gunung dan menghancurkan kota, atau hujan deras mengakibatkan banjir yang menghancurkan rumah-rumah. Seorang mukmin tahu bahwa Allah Swt kuasa atas segala sesuatu dan segala sesuatu tidak keluar dari ilmu dan izin-Nya, di mana aturan semua makhluk di dunia ada di tangan-Nya.

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya. (QS. Al-Sajdah: 5)



Maka, ukuran kemuliaan dan kehinaan di sisi Allah Swt bukanlah memiliki atau tidaknya sesuatu. Ukuran kemuliaan seseorang adalah bagaimana ia menjalankan tugas-tugasnya. Ketika memiliki harta, ia menjalankan tanggung jawabnya terhadap harta; dan ketika ia miskin, tugasnya adalah bersabar. Allah Swt berfirman: Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al-Hadid: 22)

Semua kejadian yang sudah ditetapkan di Lauh Mahfudz Allah Swt akan terjadi berdasarkan sistem dan aturan ilmu dan kebijakan Ilahi. Tentunya, ini bukan sesuatu yang sulit bagi Allah untuk mengatur semua ribuan tahun sebelum itu. Selain itu, berdasarkan apa yang dipahami dari ajaran agama, bahwa perbuatan, kehendak dan ilmu Ilahi tidak terikat oleh waktu, demikian juga wujud-Nya, yakni waktu adalah pergerakan segala wujud materi dan bisa diketahui kadar gerak dari semua itu, sementara wujud yang nonmateri tidak terikat oleh ruang dan waktu.



Allah Swt menginginkan supaya manusia bisa sampai kepada kesempurnaan maknawi dan ruhi. Di antara tanda-tanda kesempurnaan manusia adalah tidak terusik dengan ada atau tidak adanya sesuatu (dunia). Memang, ini bukanlah sesuatu yang mudah, bahwa ada atau tidak adanya kenikmatan bagi seseorang adalah sama saja, akan tetapi minimal kita berusaha untuk tidak berlebihan dan mengekspresikan apa yang ada dalam jiwa kita.

Semakin kita dekat untuk meraih kondisi seperti ini, yakni kita sabar di hadapan semua kesulitan dan tidak bangga dengan segala kenikmatan, maka kita pun akan semakin mulia dan semakin dekat kepada-Nya, demikian ruh kita juga akan semakin menyempurna. Akan tetapi jika tidak demikian, pada hakikatnya kita sudah terikat oleh kenikmatan dunia dan sudah menjadi budaknya.


Allah Swt menginginkan supaya kita menjadi sempurna dan menyelamatkan kita dari keterikatan kepada dunia yang rendah. Sehingga kita menjadi bebas dengan cara kita mengetahui bahwa kesulitan dunia, semuanya berdasarkan perhitungan, qadha dan qadar Ilahi, dan tanpa dalil dan perhitungan, semua ini tidak akan terjadi.


*Disarikan dari buku karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi – Menjadi Manusia Ilahi

bottom of page