top of page

Mendidik Anak dengan Keteladanan



Mendidik dengan memberi contoh adalah salah satu cara yang paling banyak meninggalkan kesan. Carilah sosok figur yang memiliki nilai-nilai yang ingin kita ajarkan di tengah-tengah mereka.


Teladan itu seperti magnet yang menyedot anak untuk mengikuti apa yang mereka lihat dengan kepala mata sendiri. Tidak ada yang meragukan betapa efektifnya teladan itu karena di setiap jiwa manusia tersimpan semangat seperti itu. Perlu diperhatikan tiga poin berikut agar upaya mendidik anak berhasil sesuai yang diharapkan.


Insting Meniru pada Anak


Hasrat untuk meniru perbuatan orang Iain tersimpan di setiap sanubari manusia. Sang anak adalah sang peniru dan terus akan menjadi peniru. Insting meniru-niru yang ada di dalam diri anak cukup membantunya dalam beradaptasi dengan lingkungan dan komunitas manusia. Karena adanya insting meniru inilah yang menjadikan manusia bisa dengan mudah mempelajari cara makan, minum, berpakaian, berbicara, menyatakan perasaannya, menyatakan rasa takut dan kekhawatirannya, serta kebiasaan-kebiasaan yang hidup di tengah lingkungannya.



Jadi insting meniru itu sangat bermanfaat dan kita tidak bisa melenyapkan insting tersebut, justru harus didayagunakan. Hidupkanlah potensi ini sambil tidak lupa menyuguhkan contoh-contoh yang baik.


Idola-Idola dalam Lingkungan Anak


Anak-anak dan remaja banyak belajar dari orang-orang yang dekat dengan dirinya. Mereka akan menyerap segala kata, tindakan orang tuanya, teman-teman, guru, dan tokoh idola. Ayah dan ibu adalah pribadi yang paling dekat, dan akrab dengan anak-anak. Ayah dan ibu adalah manusia yang paling ikhlas menumpahkan seluruh cinta dan kasih sayangnya di saat anak-anak masih tidak berdaya dan lemah. Seluruh kebutuhan gizi, emosi disediakan oleh ayah dan ibunya. Jadi sangatlah wajar kalau anak-anak begitu terkait dan tidak bisa melepaskan diri dari mereka. Anak-anak merasakan bahwa orang tuanya adalah figur sempurna untuk dirinya. Orang tua pasti dijadikan referensi hidupnya.


Mata si anak itu seperti lensa hidup yang terus mengintip setiap inci dari aktivitas ayah dan ibunya, baik yang negatif atau yang positif. Tidak ada satu pun yang lepas dari memori mereka. Rumah adalah sekolah awal bagi anak-anak. Senyum kehangatan, kepercayaan diri dan sikap serta mental orang tuanya akan diserap secara diam-diam. Di rumah itu, orang tua secara tidak sadar sebetulnya sedang mengajarkan cara berbicara, interaksi sosial, hidup teratur, jujur atau dusta, patuh pada aturan atau melanggar, dan lain sebagianya.


Anak perempuan akan belajar menjadi istri yang baik, mengasuh anak dan ilmu praktis kerumahtanggaan adalah dari ibunya. Komunikasi antara ayah dan ibu juga memengaruhi psikologis anak-anak. Di rumahlah anak-anak itu belajar tentang cinta, kesetiaan atau juga pertengkaran dan konflik. Jika ingin menyimak perangai orang tua maka perhatikanlah anak-anak mereka.



Ayah dan Ibu yang ingin mempersembahkan suka cita bahagia dunia dan akhirat kepada sang buah hatinya, maka tidak ada alternatif lain selain mempertontonkan adegan hidup yang baik, saleh, sabar, tekun, telaten, optimis, yakin dan sebagainya. Jadi kalau orang tua sendiri tidak bisa memberikan contoh yang baik janganlah terlalu mengharapkan anaknya bersikap sesempuma mungkin. Orang tua harus lebih banyak mengorbankan waktu untuk anak-anak mereka. Lakukanlah salat di depan atau bersama anak-anak. Disiplinlah dalam menjalankan secara taat ritual-ritual Islam harian.


Antara Kata-kata dan Tindakan


Jika orang tua seorang pendidik mengamalkan apa yang dikatakannya, maka kata-katanya akan melekat di benak anak didiknya. Mereka akan menjadikan kata-kata dan perbuatannya sebagai pedoman dalam hidup mereka. Namun kalau antara apa yang dikatakan dan diperbuat si pendidik terdapat jarak yang sangat jauh sekali, maka mereka akan merasa kebingungan. Mereka tidak tahu mana yang harus diikuti apakah kata-katanya atau perbuatannya.


Kalau si ayah berbohong, maka dia akan kesulitan menyuruh anaknya untuk berkata jujur, meskipun si ayah (pada dasarnya) memiliki alasan untuk berbohong. Jika ingin mendidik anak maka berikan penjelasan yang dapat dipahami oleh mereka, misalnya kalau terpaksa si ayah tidak bisa berpuasa karena menderita suatu penyakit, jelaskan bahwa kalau pun berpuasa, puasanya tetap batal. Jadi lebih baik tidak berbohong, daripada menutup-nutupinya hanya demi mengajarkan puasa pada anak. Kalau seorang yang tidak bisa berpuasa karena menderita sakit, maka tidaklah perlu berbuka di depan murid-muridnya dan jika harus memberikan penjelasan kepada murid-muridnya mengapa tidak berpuasa, jelaskan dengan memperlihatkan perasaan yang sangat berat.


Tentang keselarasan antara kata-kata dan perbuatan Sayidina Jafar Shadiq mengatakan: “Seorang alim itu jika tidak mengamalkan ilmunya maka nasihatnya tidak akan menembus hati seperti air hujan yang tidak menempel di tempat yang licin.”


Dana Mustadhafin


Comments


bottom of page