top of page

Anak dan Kebutuhannya Terhadap Agama



Pendidikan yang tidak berporoskan pada nilai-nilai agama adalah berbahaya. Apabila pendidikan kehilangan nuansa keagamaannya, niscaya akan hilang pula fondasi kesuciannya. Dan ini pada gilirannya akan menjadi penyebab langsung pupusnya hakikat pendidikan itu sendiri. Kerusakan dan penindasan yang kita saksikan sering terjadi di tengah-tengah masyarakat yang menyebut dirinya maju dan modern, bukanlah bersumber dari rendahnya pengetahuan serta kemunduran cita rasa kebudayaan. Melainkan dari lemahnya kemampuan untuk menghukum diri sendiri serta lenyapnya motivasi untuk hidup disiplin.


Kebutuhan anak terhadap agama jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhannya terhadap apapun. Terlebih bila dirinya menghadapi situasi yang memerlukan penjagaan dan penjauhan diri dari faktor kesia-siaan dan keterpaksaan. Keberadaan agama sangat berarti bagi seorang anak. Sebab, agama dapat memperbaiki akhlaknya, menjauhkannya dari perbuatan khianat dan pembangkangan, mengontrol wataknya, serta menjadikannya taat melangkah di atas rel yang seharusnya.


Agama yang haq mampu mencegah seorang anak dari melakukan segenap perbuatan yang bertentangan dengan syariat serta memberinya banyak kesempatan untuk menggapai sukses dan kemajuan hidup. Boleh jadi pendidikan agama hanya menimbulkan sedikit manfaat bagi sang anak. Namun, bagi masa depannya, itu sangatlah penting. Sebab, agama akan mengembangkan pemikirannya, mendorongnya mencintai aturan, bercita-cita meraih kedudukan yng masuk akal, membantunya menyelesaikan masalah yang dihadapinya sehari-hari, serta membekalinya kesadaran yang diperlukan untuk mengarungi samudera kehidupan.


Anak-anak memerlukan iman kuat yang dapat menjaga kehidupannya, menciptakan kepercayaan purna dalam dirinya, menghembuskan angin ketenangan dalam jiwanya, membuncahkan kecintaan terhadap ajaran-ajaran ilahiah yang bernilai tinggi, serta menghantarkannya menuju kebaikan dan kesuksesan hidup. Setiap kali usia anak bertambah, maka kebutuhannya terhadap agama juga kian bertambah. Terlebih pada usia pubertas dan dewasa.


Seorang anak memiliki sarana yang memadai dalam dirinya untuk menerima agama, karena ini sudah menjadi fitrahnya. Fitrah senantiasa mengajak sang anak melangkah ke arahnya. Kedudukan fitrah sangatlah kuat dalam diri sang anak. Sampai-sampai kita dapat mengatakan bahwa seorang anak tak akan punya pemahaman apapun tentang agama kecuali dari apa yang dititipkan dalam fitrahnya. Fitrahnyalah yang mendorongnya maju dan berkembang. Dimensi fitriah dalam diri anak akan mendorongnya menerima dan memahami masalah-masalah agama, mencintai hakikat agama, serta menjauhi hal-hal buruk dan menjalani hal-hal baik sebagaimana layaknya.

Orang tua akan menghadapi banyak pertanyaan dari seorang anak yang berusia empat tahun, akibat dari perasaan ingin tahunya yang begitu kuat, kecenderungannya untuk mengetahui rahasia-rahasia alam, dan demi meretas jalan yang akan menghantarkannya menuju Allah Swt.

Anak yang telah berusia lima tahun memiliki kecenderungan kuat untuk mengenal Allah. Kebanyakan pertanyaan yang diajukannya berkisar pada hal-hal berikut, “Bagaimana Allah itu dan seperti apa bentuk-Nya? Mengapa kita tidak dapat melihat-Nya?"


Dan sewaktu mendekati usia enam tahun, pikirannya akan terfokus pada sumber-sumber kekuatan. Tatkala memandang sosok ayah sebagai sumber kekuatan dalam rumah, ia menganggap harus ada kekuatan lain di langit, yaitu Allah Swt. Anak-anak yang berusia empat, lima, dan enam tahun akan mengagumi kekuatan Allah serta terheran-heran dengan segenap ciptaan-Nya.


Anak-anak memiliki banyak kecenderungan yang mendorongnya mencari dan mendapatkan pengetahuan tentang penciptaan; misal siapa yang menciptakan jagat alam ini? Keinginan yang kuat itu mendorongnya untuk mengetahui dan mengenal rahasia-Nya secara mendetail. Dengan semua itu, mereka pun membangun keyakinan khusus yang berkenaan dengan aspek hakikat dan akhlak. Itulah (yang kemudian diketahuinya sebagai) kekuatan yang melampaui kekuatan ayah dan ibunya. Ya, mereka akan senantiasa disibukkan pemikiran semacam ini dalam rentang waktu cukup lama.


Pada saat sang anak berusia delapan tahun, akan tumbuh kecintaan dan kesukaan yang memotivasinya untuk meraih kesempumaan jiwa dan menyingkap segenap hal yang tersembunyi. Usahanya terfokus pada keinginan untuk menjalin ikatan kuat dan abadi antara dirinya dengan Allah Swt. Usaha tersebut akan lebih nampak lagi sewaktu ia telah berusia delapan belas tahun; kecintaan kepada Allah akan kian mengental, sehingga menjadikannya begitu ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Adapun tujuan usaha ini adalah menyingkap kepribadian dirinya, merenungkan jalan yang ditempuhnya, serta menyongsong kehidupan yang layak.


Kapan pendidikan agama harus sudah mulai diajarkan? Dalam pandangan Islam, proses pendidikan terhadap sang anak dimulai sejak lahir -yakni tatkala azan dikumandangkan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya-serta berlangsung di tengah-tengah keluarga. Sekalipun secara prinsipil, itu sudah dimulai sejak ia masih berbentuk janin. Pada masa selanjutnya, sang anak akan memperoleh pendidikan yang lebih khusus, sesuai dengan jenjang usianya. Dalam hal ini, kita adalah sosok pendidik baginya. Karena itu, kita wajib melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

Usahakanlah agar pada masa-masa pendidikannya, yaitu pada tujuh tahun pertama kehidupannya, kita mencarikan sumber-sumber dan contoh-contoh edukatif yang bermanfaat bagi sang anak. Selain itu, jangan sampai pola pendidikan yang dijalankan mengharuskan kita melakukan perubahan atau peninjauan ulang terhadap prosesnya. Sebab, banyak penyelewengan agama yang dilakukan sebagian orang lantaran sebelumnya ditempa oleh pendidikan yang keliru dan buruk.

Nilai-nilai agama mulai mengakar dalam diri seorang anak perempuan pada usia sepuluh tahun. Adapun pada anak lelaki, itu terjadi pada usia dua belas tahun. Pada usia ini, upaya keagamaannya baru terbatas pada pembentukan keimanan dan keyakinan. Sebab, pada usia ini, naluri keagamaannya mulai bertumbuh secara berangsur-angsur hingga dirinya berusia akil baligh.


*Disarikan dari buku karya Dr. Ali Qaimi - Mengajarkan Keberanian dan Kejujuran Pada Anak

Dana Mustadhafin

bottom of page