top of page

Saat Tepat Memberikan Pendidikan Agama pada Anak



Pada dua tahun pertama dari kehidupan anak, pendidikan agama menurut para ilmuwan tidak mungkin dilakukan kepada mereka, dengan argumentasi bahwa pada periode ini (bahkan untuk beberapa tahun ke depan) pemahaman tentang Tuhan dan agama merupakan sesuatu yang belum bisa dibayangkan oleh anak, sehingga tidak mungkin kita dapat menjelaskan masalah-masalah agama kepadanya. Pada periode ini anak bukan hanya belum mempunyai kemampuan akal dan kecerdasan yang cukup tetapi sampai batas-batas tertentu indranya juga belum mampu untuk mengindra.


Namun, Islam punya keyakinan bahwa pendidikan agama telah dapat dan bahkan harus sudah dilakukan sejak pertama kali anak lahir. Dalam bukunya Agar Tak Salah Mendidik Anak, Prof. Ibrahim Amini menerangkan, bahwa Islam mempunyai keyakinan bahwa anak sejak masa lahirnya telah punya perhatian terhadap Tuhan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan pukul anakmu karena menangis, karena tangisannya selama empat bulan pertama adalah kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah, empat bulan berikutnya berisi salawat dan doa kepada Rasulullah ﷺ dan empat bulan berikutnya lagi adalah doa bagi ayah dan ibunya.”



Benar, bahwa pada periode ini anak belum mengenal orang-orang di sekitarnya, belum mengetahui arti kata dan belum mempunyai pemahaman tertentu tentang Tuhan, namun secara fitrah ia mengerti tentang dua hal; kebutuhan dan ketidakmampuannya. Sebagai contoh, ia tahu bahwa ia lapar dan membutuhkan makanan, di sisi lain ia juga tahu bahwa kebutuhannya itu hanya dapat diperoleh dari luar, dan ia juga tahu bahwa di luar ada tempat berlindung yang dapat memenuhi kebutuhannya, oleh karena itu ia menangis meminta tolong kepada kekuatan hebat tersebut.


Seorang anak, pada periode ini belum mengenal seseorang bahkan belum mengenal ibunya sendiri, dan ia belum tahu bahwa ibunyalah yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Bahkan, pada periode ini ia sama sekali belum bisa membedakan di antara benda-benda dan belum mengetahui jumlah. Pada periode ini, secara fitrah dan secara umum ia mengetahui adanya suatu Wujud Mutlak yang Mahakaya yang menjadi tempatnya berlindung, dan dengan perantaraan menangis ia meminta kepada-Nya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.


Kedua, Islam berkeyakinan bahwa pendidikan agama yang diberikan sejak lahir akan sangat bermanfaat, dan Islam sangat menganjurkan para pengikutnya mengenai hal ini.


Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Siapa saja yang mendapatkan anak yang baru lahir hendaknya ia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya, karena yang demikian akan menjadikan anaknya terjaga dari setan.”


Rasulullah juga menganjurkan menantunya, Sayidina Ali untuk melakukan hal ini kepada anaknya Hasan dan Husain, di samping juga membacakan surah al-Fatihah, ayat kursi, ayat-ayat terakhir dari surah al-Hasyr, surah al-Ikhlash, surah al-Falaq dan an-Nas ke telinga keduanya.



Rasulullah ﷺ menganjurkan kepada para bapak untuk mengumandangkan azan dan iqamah dan membacakan ayat-ayat Alquran ke telinga anaknya yang baru lahir, yang dengan ini berarti pendidikan agama telah dimulai sejak saat itu, dan jiwa anak yang masih bersih dan begitu juga saraf dan otaknya yang masih lembut, pada awal kehidupannya telah dikenalkan kepada suara lembut kumandang azan dan iqamah serta bacaan ayat-ayat Alquran.


Perlu dijelaskan di sini bahwa benar pada periode ini seorang anak belum mengerti arti kata dan kalimat, dan sampai batas-batas tertentu indranya belum bisa membedakan perbedaan-perbedaan suara dan bentuk, namun demikian saraf dan otaknya sudah memiliki kesiapan untuk menerima pengaruh, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa ia sama sekali tidak terpengaruh oleh apapun yang dilihatnya dan apa-apa yang didengarnya, justru sebaliknya semua itu akan berpengaruh pada saraf, otak dan jiwa anak. Meskipun anak belum dapat memahami artinya namun secara perlahan-lahan ia akan dapat mengenal dan memahaminya, dan sangat mungkin pengenalan ini akan berpengaruh pada masa depannya.


Seorang anak yang pada masa awal kehidupannya dididik dalam sebuah lingkungan agamis dan telinganya sudah terbiasa dengan bacaan Alquran dan nama Allah, begitu juga matanya sudah terbiasa melihat kegiatan-kegiatan keagamaan, akan berbeda dengan seorang anak yang dididik dalam Iingkungan yang rusak dan telinganya terbiasa mendengar lagu-lagu yang tidak mendidik serta matanya terbiasa melihat pemandangan-pemandangan yang rusak. Jelas, anak yang pertama akan lebih mempunyai kesiapan untuk menerima pendidikan agama bila dibandingkan anak yang kedua. Sebaliknya, anak yang kedua akan lebih mempunyai kesiapan untuk menerima pendidikan yang buruk dibandingkan anak yang pertama.


Oleh karena itu, para orangtua tidak bisa bersikap acuh terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa awal kehidupan anaknya. Untuk itulah Islam tidak memperbolehkan suami istri melakukan hubungan badan di hadapan anaknya. Rasulullah ﷺ melarang suami istri melakukan hubungan badan pada saat anaknya yang berada dalam ayunan melihatnya.


Dana Mustadhafin


bottom of page