top of page

Hakikat Hidup di Dunia



Apabila manusia hendak membuat sebuah keputusan yang penuh kesadaran dan memilih jalan yang benar, dia harus mempunyai pengetahuan yang cukup. Lebih daripada itu, dia juga harus memahami beberapa syarat tertentu dan menjaganya. Dalam kaitan ini, syarat pertama adalah dia harus mengetahui bahwa dia berada dalam posisi yang seperti apa.


Apabila manusia tidak mengetahui posisinya, bahwa dia berada di mana, dari mana asalnya, akan ke mana pergi, apa tujuannya dan kesulitan-kesulitan apa yang akan dihadapi, sudah barang tentu dia tidak dapat membuat sebuah keputusan yang terukur dan benar.


Apabila sebuah keputusan dibuat tanpa pengetahuan yang memadai dan memerhatikan beberapa hal di atas, dapat dipastikan bahwa keputusan tersebut merupakan sebuah keputusan yang ngawur dan tidak akan membawa manusia pada apa yang menjadi tujuannya.



Manusia dapat memilih jalan yang benar dan mengambil keputusan yang rasional serta terukur, ketika dia sudah memahami di mana keberadaan dirinya, seperti apa posisinya, apakah dunia, tempat seperti apakah dunia itu, dan bagaimana dia harus memandangnya. Karena semua hal tersebut akan sangat berpengaruh pada cara dan bentuk hidupnya. Terkhusus, cara dia dalam memandang dunia dan sejauh apa dia memahami tempat hidupnya. Semua itu akan mempunyai pengaruh yang besar dalam tindak-tanduknya.


Mereka yang hanya berpikir menikmati dunia serta makan dan minum saja layaknya seekor binatang ternak. Allah menegaskan ini dalam Alquran: “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti halnya binatang-binatang ternak.” (QS. Muhammad: 12)


Manusia-manusia yang seperti ini harus dilepas di padang rumput agar bebas makan dan minum, karena mereka adalah binatang-binatang yang tidak memahami dan mengerti tentang kehidupan. Ketika haus pergi untuk mencari minum dan ketika lelah, pergi untuk tidur dan beristirahat. Seprti itulah kehidupan mereka, hanya terdorong dan tergerak oleh keinginan dan rasa yang harus dipuaskan.


Kondisi orang-orang yang seperti ini dan seperti apa nasib mereka, sangatlah jelas. Karena tidak ada sesuatu yang bisa diharapkan dari orang-orang yang bingung, setengah sadar, mabuk, berperangai seperti hewan dan tidak mempunyai pengertian serta pemahaman. Mereka adalah orang-orang yang tidak berpikir dan tidak juga menggunakan nalar. Mereka adalah sekelompok orang yang tuli dan bisu yang tidak mengerti apa-apa. Alquran kembali menegaskan: “Sesungguhnya seburuk-buruk yang berjalan (di muka bumi) di sisi Allah adalah mereka yang tuli, bisu, dan tidak mengerti apa-apa." (QS. al-Anfal: 22)


Orang-orang seperti ini tidak hanya merupakan seburuk-buruk manusia, tetapi dia juga merupakan seburuk-buruk binatang dan tidak ada sesuatu yang bisa diharapkan dari mereka.


Hakikat hidup yang benar dan sesuai fitrah manusia adalah mereka menyadari bahwa dunia ini senantiasa bergerak dan berlalu. Setelah mereka menyadari bahwa mereka dalam keadaan bergerak, mereka juga berpikir tentang ke mana tujuan dari pergerakan ini; mereka berpikir di mana mereka kini berada, akan ke mana, kelak akan sampai di mana dan ke mana mereka sedang dibawa. Wasiat Sayidina Ali bin Abi Thalib kepada putranya Al-Hasan menjelaskan secara rinci tentang pemahaman hakikat hidup yang sebenarnya. Berikut pesannya:


“Wahai putraku, aku telah memberitahukan kepadamu tentang dunia, kondisinya, perubahan, dan kefanaannya beserta penghuninya. Aku juga telah memberitahukan padamu tentang akhirat dan yang Allah telah sediakan di sana bagi para penghuninya. Akupun telah memberikan untukmu banyak perumpamaan (tentang dunia dan akhirat), agar kamu dapat mengambil pelajaran darinya dan bertindak menurutnya.


Sesungguhnya, perumpamaan orang-orang yang telah memahami dunia seperti para musafir yang sudah tidak betah dengan tempat tinggal yang tandus, lalu mereka bergegas untuk pindah menuju tempat tinggal yang subur; (untuk itu), mereka bersabar atas kesulitan perjalanan, perpisahan dengan para sahabat dan kesukaran dari segi makanan dan tidur selama dalam pengembaraan, demi untuk sampai pada tempat tinggal yang lapang dan tenteram. Karenanya, mereka tidak sedikit pun merasakan keperihan atas semua (kesukaran dalam perjalanan) itu dan tidak juga menganggap ada kerugian atas biaya perjalanan yang dikeluarkan dan tidak ada yang lebih mereka sukai ketimbang apa yang dapat membawa mereka lebih dekat pada tempat tinggal yang diidamkan tersebut.


Sedangkan perumpamaan mereka yang tertipu dengan dunia, laksana orang-orang yang tinggal di sebuah tempat yang subur, lalu pergi menuju tempat yang tandus, maka tidak ada yang lebih mereka benci dan tidak ada yang lebih menakutkan bagi mereka daripada meninggalkan tempat subur yang pernah mereka huni menuju tempat yang baru mereka datangi dan tempati.”


Dana Mustadhafin


bottom of page